Hukum Taqlid dalam pandangan ulama tauhid.
اِذْ كُلُّ مَنْ قَلَّدَ فِى التَّوْحِيْدِ | اِيْمَانُهُ لَمْ يَحْلُ مِنْ تَرْدِيدِ
Makna Matan : Karena bermula tiap tiap Siman yang di taklifkan akan-nya man dalam ilmu taunid, bermula imannya man itu tidak sunyi ia- nya iman dari pada keraguan.
Penjelasan : mengapa setiap orang yang mukallaf (baligh, dan berakal) wajib untuk mengetahui sifat sifat yang wajib, Jaiz dan mustahil bagi Allah, begitu pula wajib mengetahui sifat wajib, Jaiz dan mustahil bagi rasul, ?
Karena setiap orang yang mentaqlid (ikut-ikutan) dalam ilmu tauhid, maka iman nya itu masih dalam keraguan
Pengertian Taqlid secara bahasa dan istilah :
Kata “taqlid” adalah di ambil dari kata “qiladah” yang artinya kalung, dan arti dari taklid secara bahasa yaitu “meletakan kalung di leher”. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu tauhid arti taqlid yaitu Mengikuti perkataan seseoarang, tanpa mengetahui hujjah atau dalil.
Orang yang mengikuti dinamakan Muqallid, sedangkan orang yang diikutinya disebut Muqallad.
Dalam penjelasan di atas tadi, setiap seorang yang mukallaf (baligh dan berakal), yang hanya bertaqlid maka iman nya masih dalam keraguan, karena dalam hal ini terjadi perbedaan ulama dalam kasus seorang yang muqallid.
Syaikh Ibrohim al-Bajuri menyebutkan enam pendapat (qoul) ulama tentang masalah Taqlid dalam hal Aqidah :
1. Iman seorang yang bertaqlid adalah tidak sah, oleh karena itu seseorang yang imannya hanya ikut-ikutan, tidak dihukumi sebagai mukmin tetapi dihukumi sebagai kafir. pendapat ini disampaikan oleh imam as-Sanusi di dalam kitab al-Kubra.
2. Iman seorang yang bertaqlid, baik bagi orang yang mampu untuk nadzar (berfikir) atau pun tidak, adalah sah, tetapi dihukumi sebagai orang yang telah bermaksiat karena telah meninggalkan nadzar (berfikir).
3. Iman seorang yang bertaqlid dalam masalah aqidah adalah sah (cukup) dan dihukumi sebagi orang yang telah bermaksiat (berdosa) bagi orang yang sebenarnya mampu untuk nadzar (berfikir), dan bagi orang yang tidak punya kemampuan untuk nadzar, maka tidak dihukumi bermaksiat.
4. Bagi orang yang bertaqlid dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang Qoth’i dilalahnya (bukan yang dzonni) maka dihukumi sah imannya. Dan bagi yang bertaqlid kepada selain keduanya, maka imannya tidak dihukumi sah, karena sangat rawan terjerumus dalam kesalahan aqidah.
5. Imannya orang yang bertaqlid dalam masalah aqidah adalah sah (cukup) tanpa dihukumi bermaksiat. Karena bagi ulama yang menyatakan demikian, nadzar adalah syarat kesempuranaan iman, dan barangsiapa yang mampu untuk nadzar tetapi tidak melakukannya, maka sungguh telah meninggalkan suatu yang utama.
6. Dan pebdapat yang ke enam adalah, iman seorang yang bertaqlid dalam masalah aqidah adalah sah dan bahkan diharamkan baginya untuk nadzor, qoul ini mengandung kemungkinan diperuntukkan bagi orang yang telah teracuni fikirannya dengan pemikiran filsafat.
[Tuhfatul Murid bi syarh Jauharoh at-Tauhid hlm 77, cet. Dar as-Salam Mesir].